GARA-GARA DRAGON BALL
oleh Praey Arai
Bel menyalak satu kali dengan begitu lantang, Pak Warto, guru bahasa Indonesia kami, mengakhiri penjelasannya. Dua jam berturut-turut, guruku yang berkumis lebat itu telah mengajarkan tentang tata bahasa Indonesia. Namun tak satu pun pelajaran yang masuk ke otakku. Aku masih saja kelimpungan jika disuruh untuk membuat kalimat yang efektif. Padahal Pak Warto sudah menerangkan aturan-aturannya dengan sangat gamblang. Jika sudah begini, aku akan mengonternya dengan sejuta rasionalisasi, untuk menutupi kelemahanku. Aku bukan calon penulis, jadi untuk apa belajar tata bahasa Indonesia, toh banyak calon penulis yang babak belur pengetahuan tata bahasa mereka.
Ketika Pak Warto telah sempurna meninggalkan kelas, Endartomo, kawan sekelasku, menghampiriku. Lalu dia duduk di bangku kosong di sampingku yang telah ditinggalkan penghuninya. Kawan sebangkuku, Sedya, entah pergi ke mana. Dia terlihat keluar dengan terburu-buru beberapa saat pasca-Pak Warto telah raib.
“Prei, pukul setengah sebelas nanti TPI akan menayangkan film Dragon Ball, lho,” kata Endartomo. Siku tangan kirinya ditumpukan ke meja, sementara telapak tangannya menahan pelipisnya sambil sesekali menyisir rambutnya dengan sela-sela jemarinya.
Aku yang sebelumnya asyik menekuri PR menggambarku untuk hari ini, mengentikan aktivitasku. Kegiatan inilah yang menyebabkan aku tak bisa mengikuti pelajaran bahasa Indonesia tadi. Selama Pak Warto berkicau tentang tata bahasa Indonesia aku justru asyik menggambar. Mentalku sebagai siswa memang termasuk memilukan. Tugas menggambar yang seharusnya kukerjakan di rumah, justru kukerjakan di sekolah pada saat yang tidak tepat. Aku memandang kawanku yang bertubuh kerempeng itu sesaat, lalu menempelkan punggung tanganku ke keningnya.
“36 derajat celcius lebih sedikit,” gumamku.
Aku bukannya tanpa alasan meragukan informasinya. Setahuku film kartun Dragon Ball ditayangkan oleh Indosiar setiap Minggu pagi.
“Aku tidak sedang meracau, Prei. Yang akan ditayangkan TPI nanti bukan sebagaimana yang ditayangkan oleh Indosiar. Aku melihat sendiri trailernya tadi malam.“
Aku mulai memercayai informasi kawanku yang berambut berbelah tengah ini. Euforia dan penasaran pun segera menyergapku. Aku membayangkan tokoh-tokoh Dragon Ball diperankan oleh manusia. Bagaimana bentuknya. Dragon Ball adalah cerita kesukaanku, baik yang berbentuk manga ataupun film kartun. Terbersit dalam benakku untuk pulang sekolah sebelum waktunya.
“Rambut Son Go Ku apakah jabrik, Ndar?”
“Ya, tapi tidak identik dengan yang di versi kartunnya.”
Tiba-tiba di sampingku telah berdiri dua mahluk berbeda karakteristiknya. Yang satu bertubuh surplus lemak, dan yang satu lagi berkumis ugal-ugalan. Yang bertubuh gemuk itu bernama Wisnu.
“No, kata Endartomo, nanti TPI akan menayangkan Dragon Ball,” kataku kepada kawanku yang berkumis ugal-ugalan, untuk remaja seumurannya. Dia bernama Heno.
Wajah Heno tampak berbinar, seperti suami yang mengetahui masa haid istrinya telah berakhir. Namun euforia yang dirasakan Heno hanya sesaat. Wajahnya berangsur-angsur berubah muram durja.
“Sayang, kita tak bisa menonton,” katanya lemah.
“Kita nonton di tempat Pak Suranto saja,” usul Wisnu. Pak Suranto adalah penjaga sekolah kami. Rumahnya terletak di bagian paling belakang, berdekatan dengan ruang bengkel seni rupa.
Kami pun menyepakati usul Wisnu dengan penuh antusiasme tinggi. Lalu kami berkonspirasi; kami menyusun strategi untuk menonton acara itu.
Heno, Wisnu, dan Endar adalah kawan-kawan akrabku. Kami selalu luntang-luntung bersama, kecuali ke dalam toilet. Orientasi seksual kami masih normal. Di antara kami, Endartomo adalah yang temuda. Dia sangat lugu, dan mudah dimanfaatkan. Wisnu adalah yang terberat, berat badannya setimbang dengan gabungan barat badanku dan berat badan Endartomo. Secara ekonomi, dia yang termakmur di antara kami. Orang tuanya berstatus pegawai negeri.
Heno berkumis terlebat, walaupun masih kalah bila dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Di samping berkumis lebat, Heno juga terbagus kualitas lukisannya. Sementara aku yang tertrendi. Rambutku tergondrong. Celana panjangku bermodel jubrai dengan ikat pinggang berkancing kepala naga. Di mataku sendiri aku merasa gagah dengan dandananku. Padahal di mata orang lain, bisa jadi penampilanku terlihat seperti para alay di layar teve. Kami mempunyai satu kesamaan, kami sama-sama mengandrungi Dragon Ball, baik yang versi manga ataupun film kartunnya.
Heno berkumis terlebat, walaupun masih kalah bila dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Di samping berkumis lebat, Heno juga terbagus kualitas lukisannya. Sementara aku yang tertrendi. Rambutku tergondrong. Celana panjangku bermodel jubrai dengan ikat pinggang berkancing kepala naga. Di mataku sendiri aku merasa gagah dengan dandananku. Padahal di mata orang lain, bisa jadi penampilanku terlihat seperti para alay di layar teve. Kami mempunyai satu kesamaan, kami sama-sama mengandrungi Dragon Ball, baik yang versi manga ataupun film kartunnya.
Perbincangan kami terhenti. Seorang perempuan setengah baya masuk ke dalam kelas. Heno, Endar, dan Wisnu kembali ke habitat mereka masing-masing. Namun teman sebangkuku belum juga terlihat batang hidungnya. Ibu guru berjilbab itu menghampiri meja, lalu duduk di bangku. Dia membuka daftar absensi lalu mengabsen kami satu per satu. Sesaat kemudian teman sebangkuku memasuki kelas dengan tergopoh-gopoh, kemudian dia duduk di bangkunya. Dan beberapa saat setelah kawan sebangkuku duduk, aku mencium aroma khas sigung menusuk-nusuk hidungku.
“Aduh, Prei, perutku konsleting,” kata kawan sebangkuku sambil meremas-remas perutnya.
Tiba-tiba aku merasa seolah-olah dihujani cahaya, seperti batu di Luweng Grubug yang ditimpa cahaya surga. Berdasarkan keluhan kawanku tersebut, aku berhasil menyingkap sebuah misteri. Jadi, kawan sebangkuku ini sedari tadi berada di toilet. Dan bau seperti sigung yang menuduk-nusuk hidungku tadi bersumber dari lubang pantatnya.
“Buka buku bahasa Inggris kalian, kita akan belajar tense,” seru guru berjilbab itu.
Satu jam ke depan kami, siswa kelas Seni Rupa 2 B, akan belajar bahasa Inggris. Pelajaran yang paling tak kusukai setelah matematika. Aku pun mempersiapkan puyer sakit kepala di dalam laci mejaku.
***
Aku, wisnu, endartomo, dan heno mengeksekusi rencana kami. Kami meninggalkan pelajaran seni rupa yang diampu oleh Pak Ismu tidak secara simultan. Dengan alasan hendak ke kamar kecil, kami meninggalkan bengkel.
Sesampainya di rumah penjaga sekolah, kami pura-pura membeli soto. Rumah penjaga sekolah berintegrasi dengan kantin sekolah. Dan kantin itu dikelola oleh istri Pak Suranto, si penjaga sekolah. Membeli soto adalah modus agar kami bisa menonton televisi.
Sambil menikmati soto, kami menantikan penayangan film Dragon Ball. Televisi dalam keadaan menyala ketika kami memasuki kantin. Televisi berada di sebuah ruangan yang bersebelahan dengan kantin. Kedua ruangan itu dibatasi sebuah pintu. Kebetulan pintu dalam keadaan terbuka dan anak penjaga sekolah yang masih kecil terlihat tengah menonton televisi.
Kami pun memintanya mengganti channel teve pada channel TPI. Dia pun menggantinya setelah aku melungsurkan uang lima ratus rupiah kepadanya.
Kami mengalami euforia ketika acara itu benar-benar tayang. Walaupun jauh dari ekspektasiku, film Dragon Ball versi Thailand tersebut sukses membuat kami trance, sehingga tak menyadari kehadiran seseorang. Awalnya aku mendengar suara dehem-dehem, tapi tak menggubrisnya. Ketika intensitas dehem itu semakin meninggi, aku pun penasaran. Saat aku menengokkan mukaku, kulihat sosok tinggi, hitam mengilat, berparas sangar telah berdiri di belakang kami sambil berkacak pinggang. Rasanya properti yang secara anatomis terletak di selangkangku ingin muntah-muntah ketika kumendapati Pak Ginting seruangan dengan kami.
Aku dicekam ketakutan yang luar biasa, jantungku berdegub hebat. Kulihat wajah-wajah kawanku tampak tegang. Aku memperkirakan mereka juga merasakan apa yang tengah aku alami. Kami hanya terpaku di tempat duduk kami masing-masing. Kondisi Endartomo terlihat paling mengharukan, wajahnya memucat, dan mulutnya megap-megap seperti ikan koki yang tengah menggerutu.
Pak ginting termasyhur sebagai guru killer. Dia tak mengenal kata kompromi bagi pelanggar aturan sekolah. Siapapun yang melanggar aturan sekolah akan ditindaknya dengan tegas. Selain sebagai guru olah raga, dia juga merangkap sebagai guru BP. Aku pernah menyaksikan salah satu siswa dihukumnya keliling lapangan bola sebanyak sepuluh kali putaran karena mengobrol sendiri saat upacara bendera. Setelah menjalani hukuman, siswa tersebut digotong beramai-ramai ke UKS. Dia semaput. Sungguh memalukan sekali. Badan segede dinosaurus, ternyata berfisik memilukan. Aku takut akan hukuman yang menyebabkan tersingkapnya kelemahanku.
Aku, Heno, Wisnu, dan Endartomo digelandang ke ruang BP. Di sana kami diberi wejangan. Setelah itu kami menandatangani surat pernyataan, kami tak akan mengulangi perbuatan kami lagi. Aku kira hanya itu hukuman yang kami terima, ternyata aku salah. Pak Ginting memberikan hukuman tambahan kepada kami, kami harus menampilkan sesuatu di hadapan para guru dan seluruh siswa SMSR, di acara bendera pada hari senin depan. Terserah, bentuknya mau drama, dance ala boyband, bernyanyi, atau debus seperti Limbad. Intinya kami harus menampilkan sesuatu, atau orang tua kami akan dipanggil ke sekolahan jika kami tidak mau. Mati aku, kami telah diskenario untuk dipermalukan di muka publik!
Thanks for reading & sharing TAOO Revo
0 komentar:
Posting Komentar