Celana Dalam Biang Keributan
Kalender di Kyoto memasuki pertengahan Maret. Salju tak lagi menguasai bumi Kyoto; tapi anehnya, warna putih masih terlihat dominan di beberapa tempat, terutama pada ranting-ranting pepohanan sakura yang menjulang bercabang-cabang. Somei Yoshino yang menggerombol pada dahan-dahan pepohonan sakura ibarat perpanjangan tangan salju yang ingin tetap melanggengkan hegemoninya atas Kyoto; seakan-akan salju tak rela haru menggeser eksistensinya dari bumi Kyoto.
Pak Otoboke menyusuri gang sambil mengempit tas map. Sepotong jas kelabu sepanjang paha membungkus tubuhnya yang didominasi tulang belulang, dan sepasang pantofel kulit hitam melindungi sekaligus menghiasi kedua kakinya. Di samping kanan-kirinya berjajar pagar-pagar; ada yang berbahankan kayu dan ada pula yang terbuat dari kombinasi batu bata dan semen. Di balik pagar-pagar itu terbangun rumah-rumah berasitektur khas tradisional Jepang; ada yang berhalaman luas, tetapi tak sedikit pula yang sempit. Sementara di depan pagar-pagar itu terdapat selokan kecil yang membujur sepanjang jalan, dan pada jarak tertentu terpancang tiang besi sebesar batang bambu dan setinggi Bruce Lee ketika dijunjung oleh Michael jordan. Di pucuk tiang-tiang besi itu terpasang sebuah palang, dan tertumpang di atasnya kabel-kabel berukuran sedang. Kabel-kabel itu memanjang seolah-olah tak berujung ditopang oleh jajaran tiang besi yang berdiri di sepanjang pinggiran jalan.
Saat melewati gang itu, Pak Otoboke tak sendirian; seorang lelaki kelihatan berjalan beberapa langkah di depannya. Lelaki itu mengenakan jas dan mengapit tas map juga. Bedanya, lelaki itu lebih tampan dan lebih muda ketimbang Pak Otoboke. Pak Otoboke berjalan seolah-olah menguntit lelaki itu dari semenjak memasuki mulut gang; Pak Otoboke memilih berjalan di belakangnya dan tak berniat mendahuluinya.
Kira-kira Pak Otoboke seumuran dengan George Foreman tatkala menganvaskan Michael Moorer pada tahun 1994 yang lalu. Rambut kepalanya berpotongan bros, dan berkumis ala mendiang Toto Asmuni. Hidungnya tak mancung, dan seolah-olah berjalan dengan mata terpejam. Wajahnya mengerucut, dan seolah-olah tak berdagu. Kulitnya kekuning-kuningan, dan berkaki agak pendek.
Saat menjumpai persimpangan jalan, lelaki itu berbelok ke kiri. Sejenak lelaki itu terlepas dari pandangan Pak Otoboke hingga persimpangan jalan. Saat Pak Otoboke berhasil melihat lelaki itu kembali, dilihatnya lelaki itu tengah memungut sepotong celana dalam perempuan, lalu memasukkannya ke dalam kantong jasnya.
Disamping kanan lelaki itu adalah sebuah rumah yang bertembok batu bata dan tak begitu tinggi. Rumah yang mayoritas bermateri kayu itu berhalaman tidak terlalu luas. Perangkat jemuran yang lebih tinggi ketimbang tembok di letakkan di halaman yang sempit, di antara serambi dan tembok. Di atas perkakas jemuran itu terdapat pelbagai jenis jemuran. Sebelum terbang ke tengah jalan, celana dalam itu bergoyang-goyang bersama jemuran yang lain bak biduanita dangdut murahan karena dipermainkan angin pada musim semi.
Pak Otoboke tak tinggal diam ketika melihat kejadian yang menurutnya memalukan itu; dia spontan berlari mendekati lelaki itu, lalu merenggut kerah belakang jasnya dengan kasar.
“Hei, kleptomania,” geram Pak Otoboke. “Dasar, amoral!”
“Apa-apaan ini,” pekik lelaki itu sambil meronta-ronta berusaha melepaskan kerah jasnya dari cengkeraman Pak Otoboke. Usahanya pun berhasil, tetapi tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Setelah berhasil menguasai keadaan dia berbalik badan menghadap ke arah Pak Otoboke.
“Kamu pasti pengidap kelainan seksual, ya,” gertak Pak Otoboke sambil menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah lelaki itu. Lalu Pak Otoboke merangsek ke arah lelaki itu, bak seekor banteng yang merangsek ke arah torero dalam gelanggang alternativa; dia merogoh kantong lelaki itu dengan paksa, berusaha mengambil sesuatu dari dalamnya. Namun lelaki itu mempertahankannya mati-matian. Pergelutan pun terjadi dengan seru.
Tak ayal Keributan itu pun memancing terjadinya konsentrasi massa. Massa terdorong ingin mengetahui sebab-musabab dan kronologi keributan itu. Begitupun dengan pemilik rumah yang lokasi rumahnya dijadikan ajang keributan. Dia muncul dari balik pagar rumahnya dengan tergopoh-gopoh; dia perempuan berumur di kisaran 30-an tahun, rambutnya dikuncir kuda, mengenakan rok sepanjang lutut, dan pemilik jemuran yang terbang itu.
“Hei!” teriak pemilik rumah itu kepada Pak Otoboke. “Kamu apakan suamiku?”
FADE OUT ==>
Tulisan ini saya alih tuliskan dari manga yang berjudul
"Otoboke Section Chief" karya Masashi Ueda.
MARI GABUNG DENGAN SOBATKU DI
FACEBOOK FANSPAGE PRAY ARAI
Thanks for reading & sharing TAOO Revo
0 komentar:
Posting Komentar