MATA Kozue, Hiroshi, dan Pak Otoboke berbinar-binar ketika melihat Paman Katsu berdiri di balik pintu rumah mereka. Kedatangan Paman Katsu pada tahun baru merupakan berkah bagi mereka bertiga. Bagi Kozue dan Hiroshi kedatangan Paman Katsu membuat pundi-pundi yen mereka berkembang biak; biasanya Paman Katsu akan memberikan otoshimada[1] kepada mereka. Sementara Pak Otoboke bergembira karena kesenangannya minum sake terpenuhi, tanpa mengurangi sedikit pun yen di dalam kantong celananya. Namun bagi Bu Hiromi kedatangan Paman Katsu, bisa dibilang, ibarat musibah. Selama kehadiran Paman Katsu, Bu Hiromi senantiasa bekerja berat; Bu Hiromi harus memapah kuda nil dan burung beo yang berbau sake ke ruang serba guna atau washitsu secara bergantian. Jika sedang mabuk, Pak Otoboke selalu mengoceh tak keru-keruan.
Paman Katsu adalah adik terbontot Bu Hiromi, istri Pak Otoboke. Selain Paman Katsu, Bu Hiromi masih mempunyai satu adik lagi; Bu Hiromi adalah sulung dalam keluarganya. Paman Katsu berprofesi sebagai pegawai swasta di sebuah perusahaan besar di Tokyo dengan gaji 300 ribu yen sebulan, dan tinggal di sebuah apaato[2]. Tubuhnya bak pesumo kelas kakap, sangat kontras dengan tubuh Bu Hiromi dan Pak Otoboke.
Paman Katsu menggunakan jalan darat ketika berkunjung ke rumah keluarga Pak Otoboke; Paman Katsu naik kereta api shinkansen nozomi. Konon, kereta api ini berkecepatan 300 km/jam. Oleh karena itu jarak antara Tokyo dan Kyoto kira-kira sejauh Solo-Jakarta, bahkan mungkin bisa lebih, ditempuh tak lebih dari 3 jam saja. Dan untuk menggunakan jasa transportasi yang kecepatannya ugal-ugalan itu, Paman Katsu mesti mengeluarkan 14 ribu yen dari kantongnya.
DI BELAKANG kokatsu[3], Paman Katsu bercerita tentang pengalamannya selama liburan di Indoneshia[4] pada liburan musim panas yang lalu. Paman Kotsu duduk berhadapan dengan Pak Otoboke; Paman Katsu membelakangi tokonoma. Sementara Kozue dan Hiroshi duduk sebangku berhadapan dengan Bu Hiromi; Bu Hiromi duduk seiza[5] di atas zabuton[6] membelakangi kamar tidurnya. Semua mendengarkan cerita Paman Katsu dengan penuh antusiasme.
Sambil bercerita, Paman Katsu membuka tas, lalu meletakkan isinya secara bertumpuk di atas kokatsu. Semua mata memandang ke arah tumpukan kain itu dengan penuh keheranan.
“Ini namanya batik,” kata Paman Katsu. “Aku beli sebagai cinderamata buat kalian.”
Paman Katsu mengambil satu per satu batik itu kemudian diberikan kepada masing-masing orang yang ada di belakang kokatsu; Bu Hiromi mendapat daster, Pak Otoboke mendapat kemeja, Kozue dan Hirohi mendapat kaos. Selain batik, masih banyak lagi cinderamata khas Indonesia yang dibawa oleh Paman Katsu.
Hingga tibalah program yang disukai Pak Otoboke, namun dibenci Bu Otoboke; Paman Katsu meminta Pak Otoboke menemaninya pergi ke izayaka[7] terdekat. Saat pulang Paman Katsu dan Pak Otoboke dalam keadaan sudah tidak genap lagi. Saat masuk ke dalam washitsu, Paman Katsu dan Pak Otoboke berjalan berbaris, dengan posisi Paman Katsu berada di depan; Paman Katsu dipapah oleh Bu Hiromi, dan Pak Otoboke dibimbing oleh Kozue. Hiroshi yang kebetulan sedang menonton teve di ruangan itu seolah-olah hanya melihat Paman Katsu dan Bu Hiromi yang memasuki ruangan washitsu. Saat memiringkan tubuhnya, Hiroshi baru mengetahui, Pak Otoboke berada di belakang Paman dan Ibunya.
LIBURAN tahun baru telah berlalu, Kozue dan Hiroshi pun kembali menjalani rutinitas mereka sebagai pelajar. Begitupun dengan Pak Otoboke; dia menjalani rutinitasnya sebagai pegawai. Ketika hari telah menginjak malam, Hirsohi mengerjakan pekerjaan rumahnya di dalam kamar. Saat menemukan sebuah kesulitan, Hiroshi menemui Pak Otoboke yang tengah membaca Koran sore di washitsu.
“Pa, bagaimana terjadinya gerhana bulan itu, ya?” tanya Hiroshi.
Pak Otoboke meletakkan korannya lalu beranjak meninggalkan Hiroshi. Beberapa saat kemudian Pak Otoboke kembali; di tangannya terdapat sebuah bola kaki plastik, sebuah bola ping-pong, dan sebuah lampu duduk.
“Perhatikan ini, Hiroshi-chan, beginilah terjadinya gerhana bulan itu,” kata Pak Otoboke.
Pak Otoboke menyalakan lampu duduk. Lalu menghadapkan bola ping-pong itu pada jarak tertentu ke arah corong lampu itu; bola ping-pong itu pun tersinari. Kemudian Pak Otoboke menghalangi sinar yang mengarah ke bola ping-pong dengan bola kaki; sinar pun gagal menjamah bola ping-pong. Pak Otoboke memeragakan kesemua itu sambil menjelaskan secara analogis.
“Sudah paham, kan, sekarang, Hiroshi-chan?” kata Pak Otoboke dengan bangga. “Apa itu yang disebut dengan gerhana matahari.”
Hiroshi menganggukkan kepalanya tanda paham. Terrnyata aku berotak encer juga, mampu memahamkan Hiroshi dengan metodeku yang kreatif, batin Pak Otoboke sambil membusungkan dadanya.
Namun ternyata bukan analogi Pak Otoboke yang membuat Hiroshi mampu memahami fenomena gerhana bulan, tapi analogi hasil kreatifnya sendiri. Hisrohi menggunakan peristiwa pada ganjitsu[8] di rumahnya untuk memahami fenomena gerhana bulan; seumpama dia matahari, Paman Katsu adalah bumi. Dan Pak Otoboke adalah bulannya.
Keterangan :
[1] Angpao.
[2] Apartemen.
[3] Meja lesehan berpenghangat.
[4] Menurut ejaan Jepang dalam tulisan Romanji.
[5] Bersimpuh seperti duduknya sinden dalam pagelaran wayang kulit.
[6] Alas duduk.
[7] Kedai minum sake.
[8] Tahun baru.
*Dialihtuliskan dari manga strip “Otoboke Section Chief” (Masashi Ueda).
Thanks for reading & sharing TAOO Revo
0 komentar:
Posting Komentar