Saya tak berkeberatan jika ada yang berpendapat, saya adalah sosok antagonis, arogan, bajingan tengik, sok, dan segudang predikat negatif lainnya. Dengan catatan, yang berpendapat itu, menolak slogan: jangan menilai buku dari cover. Saya adalah orang yang tak begitu akur dengan pendapat yang mengatakan, jangan menilai buku dari cover.
Jika kita tidak boleh menilai seseorang dari covernya, lantas dari apanya? Dari hatinya? Rasulullah saw pernah menegur sahabat—beliau yang membunuh seorang kafir Quraish. Dalam suatu perang antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir, seorang kafir mengucapkan dua kalimat syahadat saat dalam keadaan terjepit. Namun syahadat si kafir itu diacuhkan, dia tetap dibunuh. Si pembunuh kafir tersebut berargumentasi, barangkali itu hanya siasat saja agar selamat. Ketika kabar itu sampai ke telinga Rasulullah, beliau marah besar. Seharusnya dia tetap dibiarkan hidup karena secara visual dia telah berislam, sedangkan masalah isi hatinya itu urusan dia dengan Tuhan.
Pada satu sisi saya setuju, menilai mutlak jati diri seseorang dari covernya saja adalah kenaifan. Namun setidak-tidaknya, cover dapat dijadikan sebagai rujukan. Dan pada kasus tertentu cover adalah representasi dari isi. Seorang yang amat geram terhadap teroris, tidak mungkin mengenakan kaos yang bersablon wajah Osama bin Laden. Dia pasti mengenakan kaos yang bertuliskan Densus 88. Demikian pun sebaliknya.
Namun jika yang menstigmatisasi saya dengan cap-cap negatif itu adalah pihak-pihak yang getol mengampanyekan pendapat: jangan menilai buku dari covernya, saya merasa berkebaratan. Seharusnya, jika konsisten, dia menelisik dulu, mencari informasi dari beragam sisi, baru kemudian berpendapat. Jika ujug-ujug berpendapat berdasarkan gaya bahasa saya saja, apa bedanya dia dengan yang antitesis dengan pendapat: jangan menilai buku dari cover.
Saya akui dalam berbahasa saya memang konservatif, kaku, dan kolot. Saya tidak menoleransi gaya tulis ala alay, dan bukan berarti saya antibahasa gaul. Saya menoleransi bahasa apa pun digunakan sebagai sarana mengungkapkan gagasan, asalkan tetap sesuai dengan aturan ejaan yang berlaku. Tidak semena-mena, sesuka udelnya sendiri. Sikap konservatif saya bukannya tanpa alasan.
Saya telah memutuskan untuk menjadi penulis, oleh karena itu, ada konsekuensi-konsekuensi yang mesti saya terima. Mau tak mau, setuju tidak setuju. Berbahasa sesuai dengan bahasa baku, dan efektif bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Saya tak bisa seenak udel saya lagi dalam berbahasa, apalagi dalam forum-forum kebahasaan. Kontra produktif rasanya bila saya ingin menjadi penulis, tetapi masih saja beralay ria dalam penulisan saya. Dalam kehidupan sosial saya, bahasa yang saya gunakan sehari-hari adalah bahasa yang dianggap sebagai bahasa kelas bawah. Tak lucu rasanya, berbincang dengan kawan sendiri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penulisan saja; berbahasa yang baik dan benar sepanjang pengetahuan saya.
Dan akhirnya, selama anda tidak berpegang teguh pada ungkapan yang berbunyi: jangan menilai buku dari cover, silakan menpersepsi saya sebagai antagonis bin bajingan tengik. Saya tak berkeberatan.
Salam,
Dari sahabatku, Praey Arai.
Thanks for reading & sharing TAOO Revo
0 komentar:
Posting Komentar