Saya yakin pasti dianggap gila oleh orang yang melihat saya jika teringat peristiwa perkelahian massal tempo lalu. Oleh karena itu, sebisa mungkin saya tak akan mengingatnya di tempat umum. Jika pun teringat karena termunculkan oleh pengaruh asosiasi, saya anggap baru apes. Tertawa sendiri di muka umum adalah musibah.
Waktu itu saya sedang duduk di sebuah tempat representatif di dalam kompleks stadion Manahan, Solo; di bawah patung kesatria pemanah. Saya tengah menikmati sejenak suasana yang sentimental. Matahari telah berpihak ke ufuk barat; saya memperkirakan sepuluh menit lagi azan magrib bakal berkumandang. Tubuh saya terasa lemas karena saya habis berolah raga; saya lari berkeliling area luar stadion Manahan sebanyak 5 kali putaran.
Dari tempat saya beristirahat, saya melihat beberapa perempuan, entah masih gadis atau sudah berpengalaman, karena pada zaman sekarang ini lebih susah membedakan antara perempuan yang masih tersegel dan yang berpelat kuning ketimbang mencari jarum dalam tumpukan jerami, lewat di hadapan saya. Mereka rata-rata berbusana yang bermodel update; mereka terlihat seperti bercawat saja padahal becelana. Saya yakin setan pasti bergembira ria saat melihat tingkah saya seperti anjing yang melihat hantu jerangkong; mata saya melirik ke paha mereka yang terpajan sambil menjulur-julurkan lidah saya. Ustad Sutopo, pengampu pengajian muda-muda yang diadakan Risma di kampung saya setiap minggu pertama dan ketiga, pernah menyampaikan materi pengajian tentang ghoddul bashor atau menundukkan pandangan. Namun iman saya yang setipis kulit ari, membuat saya merasa sayang untuk melewatkan pemandangan yang menakjubkan ini.
Sekelompok anak muda yang tengah beraktivitas tak jauh dari tempat saya duduk, juga melongo ketika melihat ke arah para perempuan itu. Bahkan di antara mereka ada yang agresif melontarkan pelecahan-pelecehan seksual secara verbal. Perempuan-perempuan itu mengomel merespons pelecehan verbal tersebut, tetapi sekelompok anak muda itu justru tertawa-tawa.
Entah berkaitan atau tidak, tiba-tiba muncul beberapa orang bersenjata lonjoran bambu. Wajah-wajah mereka berkarakteristik remaja dan berpenampilan cukup mengintimidasi. Salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk ke arah salah seorang di antara sekelompok anak muda yang sedari tadi berkelompok di hadapan saya. Seketika para remaja berkaos hitam, yang penampilan mereka menimbulkan ilusi optik tak pernah mandi, berlari sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan bambu di genggaman tangan mereka.
Mendapatkan serangan mendadak, sekelompok anak muda itu pun kocar-kacir. Namun naas, salah seorang dari kelompok yang dijadikan kejaran terjungkal. Mungkin kesrimpet kakinya sendiri. Dia pun pasrah saat melihat salah satu penyerang mendekatinya.
“Buk,” terdengar suara menggelegar. Penyerang itu melayangkan bambu yang dipegangnya, tetapi meleset. Begitulah seterusnya, hinga berkali-kali pukulan yang dilayangkan tak ada satu pun yang tepat sasaran. Semuanya hanya menghantam angin dan ubin. Akhirnya pemuda yang dijadikan sasaran pukul tersebut berhasil meloloskan diri tanpa menderita luka sedikit pun. Ajaib. Entah factor apa yang menyebabkan perkelahian massal tersebut berakhir tanpa ada pihak yang terluka. Mungkinkah pemuda yang dijadikan sasaran pukul tersebut pandai berkelit, ataukah sang pemukulnya yang harus banyak berlatih lagi soal akurasi?
Thanks for reading & sharing TAOO Revo
0 komentar:
Posting Komentar