Di kelas, aku satu-satunya mahasiswa yang kerap datang terlambat. Maklum saja, aku menempuh perjalanan dari tempat kerja ke kampus dengan onthel, padahal jaraka antara kedua ada sekitar tiga sampai empat kilometeran. Jika tiba di kampus dalam keadaan letih, aku memilih tidur terlebih dahulu di masjid hingga tanda jam kuliah pertama berakhir. Kadang kala aku memaksakan masuk kelas dalam keadaan letih untuk mengejar kuota absensi, meskipun akhirnya tetap tertidur di atas bangku saat jam kuliah tengah berlangsung. Jika pun memaksakan diri mengikuti kuliah, aku serasa terbang di awang-awang, dan tak tahu apa yang tengah dipelajari.
Begitu waktu kuliah berakhir, aku langsung mengayuh sepedaku menuju pulang, dengan perut keroncongan. Akan tetapi, jika ada rejeki pada waktu siang, perutku tidak begitu lapar sewaktu pulang karena aku bisa makan sewaktu jam istirahat. Akan tetapi jika tidak ada rejeki, aku setengah puasa karena masih bisa minum. Saat tiba di rumah, biasanya jam menunjukkan pukul delapan malam. Aku langsung mandi, lalu makan, kemudian tidur.
Suatu hari aku coba-coba pergi kuliah naik bus kota, kebetulan aku sedang libur kerja. Maka, aku berjalan dari rumah menuju tempat pemberhentian bus, yang berjarak sekitar satu kilometer. Akan tetapi aku beruntung pada waktu itu karena air sungai baru surut sehingga aku bisa memotong jalan. Antara kampungku dan jalan raya terpisahkan sungai besar dan cukup dalam. Jika kemarau, aku tak memerlukan waktu yang lama untuk mencapai jalan. Akan tetapi berbeda jika musim penghujan tiba, karena aku mesti berjalan memutar.
Seperti biasa, begitu jam kuliah pungkasan berakhir, aku langsung menghambur keluar kelas. Akan tetapi, kali ini langsung menuju ke pintu keluar, tidak ke tempat parkir terlebih dahulu.
Setiba di halte aku menunggu bus terakhir karena selepas Isya memang tak ada lagi bus yang menuju ke tempatku. Begitu bus datang, aku pun naik bersama beberapa orang yang kukenal ataupun tidak.
Aku pun turun dari bus di tempat yang bisa digunakan untuk pemotongan jalan. Karena aku yakin sungai tengah surut, maka aku berani turun di tempat itu. Akan tetapi, jika perhitunganku salah, maka aku harus berjalan lebih jauh lagi, karena aku harus kembali ke jalan masuk kampung yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat pemotongan jalan. Jadi, aku mesti berjalan dua kilometer untuk sampai ke rumah jika perhitunganku salah.
Ketika aku sampai di bantaran sungai, suasana terlihat begitu sepi dan gelap. Tiba-tiba nyaliku jadi melempem. Sungguh ini di luar perkiraanku. Memang debit air sungai samar-samar terlihat surut, tetapi rembulan tengah mati, sehingga membuat suasana menjadi begitu angker. Karena tak bisa lagi kembali, aku tak mau menempuh jarak yang begitu jauh jika kembali, mau tak mau aku menuruni bantaran, dengan penuh hati-hati. Sungguh, perasaanku kala itu sungguh tidak enak. Aku dirundung ketakutan yang mahahebat.
Aku berjalan dengan penuh hati-hati, melompati batu-batu yang tidak terendam air.
Ketika sampai di tengah sungai, dan hendak melompati bagian sungai yang masih teraliri air, tiba-tiba terdengar debam yang bunyinya seperti dahan pohon besar yang terhempas di permukaan air. Byur, begitu kira-kira bunyinya. Aku menengok ke arah sumber suara itu, dan suara itu terdengar begitu dekat. Aku tak melihat apa pun di sekitarku, dan di sekitarku tidak ada pohon yang besarnya ugal-ugalan. Segera instingku menangkap ada yang tidak beres, maka aku berlari sekencang-kencangnya. Sialnya aku lupa jalan yang biasa dilalui untuk menaiki ataupun menuruni sungai. Di depanku yang ada hanyalah tanaman liar dan bambu. Karena dirundung ketakutan yang menggebu-gebu, aku berlari menerabas tanaman liar itu. Dan aku merasa lega begitu melihat jalan kampung. Aku segera naik ke jalan dengan segera. Dengkulku serasa mau copot dan nafasku tersengal-sengal begitu sampai di atas jalan. Kakiku dipenuhi luka sayatan, tetapi untung saja sandalku tidak ketinggalan.
Keesokan paginya, aku kembali ke tempat itu untuk memastikan penyebab sebenarnya timbulnya debam itu. Akan tetapi, aku tak melihat apa pun, kecuali hamparan air. Hingga hari ini aku masih binggung, sebenarnya suara apakah itu.
Thanks for reading & sharing TAOO Revo
0 komentar:
Posting Komentar